Saiful Rokib,S.Pd.I

Saiful Rokib adalah seorang pria sederhana yang dilahirkan sepasang petani yang tinggal di sebuah desa pinggir pantai. Pendidikan SD hingga SMA ia tempuh di Kab...

Selengkapnya
Navigasi Web
PERISTIWA HIJRAH KE HABASYAH Tagur ke-79

PERISTIWA HIJRAH KE HABASYAH Tagur ke-79

A. LATAR BELAKANG PERISTIWA

Kaum muslimin di Makkah merasakan semakin hari semakin berat siksaan yang mereka tanggung. Ancaman-ancaman yang bersifat verbal (ucapan) maupun siksaan terhadap fisik semakin gencar dilakukan oleh orang-orang kafir Quraisy kepada kaum muslimin yang saat itu posisinya masih lemah. Ancaman dan siksaan itu bertujuan supaya kaum muslimin mau kembali kepada ajaran nenek moyang mereka, yakni menyembah berhala. Tentu saja hal tersebut tidak akan merubah apa-apa, kecuali iman di dada kaum muslimin yang semakin membara.

Walau kaum muslimin telah berusaha sabar dalam menahan segala ancaman dan siksaan, namun sebagai manusia ada pula perasaan ingin bebas dan menikmati rasa aman. Maka Rasulullah SAW dan kaum muslimin berfikir untuk menyelamatkan diri demi mendapatkan perlindungan. Hingga akhirnya turunlah Q.S. Az-Zumar ayat 10 yang artinya:

Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu’.Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Q.S. Azzumar:10).

Turunnya surat Az-Zumar ayat 10 menjadi kabar gembira bagi kaum muslimin karena ayat itu merupakan solusi terhadap ancaman dan siksaan yang diderita oleh kaum muslimin di Makkah. Maka Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk melakukan hijrah pertama kali dalam sejarah Islam, yakni menuju negeri Habasyah. Dipilihnya negeri Habasyah yang kini disebut negara Ethiopia (Benua Afrika) bukannya tanpa pertimbangan. Habasyah saat itu dipimpin oleh seorang raja yang adil dan bijaksana bernama Ashimmah An-Najasyi atau biasa dipanggil Najasyi atau Negus.

B. PERJALANAN KE HABASYAH

Maka berangkatlah rombongan orang-orang yang berhijrah itu ke Habasyah, negeri impian yang diharapkan dapat memberikan perlindungan kepada kaum muslimin yang tertindas. Terjadi dua kali gelombang rombongan hijrah para sahabat menuju Habasyah. Rombongan pertama berjumlah 16 orang sahabat, terdiri dari 11 pria dan 5 wanita. Rombongan itu dipimpin oleh Utsman bin Affan beserta istri beliau Ruqayyah binti Rasulillah, putri Nabi Muhammad SAW. Turut pula dalam rombongan tersebut Ummu Salamah yang kelak akan dinikahi Rasulullah SAW. Orang-orang kafir Quraisy mengejar kaum muslimin yang hendak hijrah hingga di pantai, namun orang-orang kafir Quraisy telah terlambat karena kaum muslimin telah menaiki kapal.

Utsman bin Affan dan Ruqayyah binti Rasulillah kembali ke Makkah karena merasa rindu dengan kampung halaman dan juga keluarga serta berharap ancaman dan siksaan kaum kafir Quraisy telah hilang atau setidaknya telah berkurang. Namun pada kenyataannya, ancaman dan siksaan kaum kafir Quraisy kepada kaum muslimin semakin menjadi-jadi. Maka Utsman bin Affan, Ruqayyah dan kaum muslimin berencana melakukan hijrah kembali ke Habasyah. Pada gelombang hijrah kedua, 101 kaum muslimin yang terdiri dari 83 pria dan 18 wanita. Rombongan kedua ini tetap dipimpin Utsman bin Affan dan istri beliau. Turut dalam romongan ini adalah Ja’far bin Abu Thalib, saudara Ali bin Abi Thalib sekaligus saudara sepupu Rasulullah yang menjadi juru bicara kaum muslimin di Habasyah.

Kaum kafir Quraisy tidak membiarkan kaum muslim mendapatkan ketentraman di negeri Habasyah. Kaum kafir Quraisy khawatir jika Islam akan berkembang di Habasyah dan mempersulit kondisi dan posisi perdagangan Makkah. Maka diutuslah dua orang yang dianggap paling cerdas dan fasih bicaranya di kalangan kaum kafir Quraisy. Mereka ialah Abdullah bin Abi Rabi’ah dan Amr bin Ash bin Wail As-Sahmi. Mereka mengumpulkan hadiah sebanyak-banyaknya untuk menyuap Raja Najasyi dan menginginkan sang raja mengusir kaum muslimin dari negerinya. Tidak hanya itu, Abdullah bin Rabi’ah dan Amr bin Ash juga mencoba menghasut Raja Najasyi yang beragama Nasrani/Kristen tentang pandangan Rasulullah dan kaum muslimin yang mereka anggap melecehkan Nabi Isa alaihissalam. Pada awalnya semua pendeta dan Raja Najasyi merasa berang mendengar hal tersebut. Kemudian dipanggillah kaum muslimin dan meminta klarifikasi mereka. Tampillah seorang Ja’far bin Abu Thalib mematahkan tuduhan dari Abdullah bin Abi Rabi’ah dan Amr bin Ash terkait Nabi Isa as. Ja’far pun membacakan QS. Maryam: 16-24 yang artinya:

“Dan ceritakanlah ( Muhammad) kisah Maryam di dalam Kitab (Al-Quran), (yaitu) ketika dia mengasingkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur (Baitulmaqdis). Lalu dia memasang tabir (yang melindunginya) dari mereka. Lalu Kami mengutus roh Kami (Malaikat Jibril) kepadanya, maka dia menampakkan diri di hadapannya dalam bentuk manusia yang sempurna. Dia (Maryam) berkata, ‘Sungguh, aku berlindung kepada Tuhan Yang Maha Pengasih terhadapmu, jika engkau orang yang bertakwa.’ Dia (Jibril) berkata: ‘Sesungguhnya aku hanyalah utusan Tuhanmu, untuk menyampaikan anugerah kepadamu seorang anak laki-laki yang suci.’ Dia (Maryam) berkata, ‘Bagaimana mungkin aku mempunyai anak laki-laki, padahal tidak pernah ada orang (laki-laki) yang menyentuhku dan aku bukan seorang pezina.’ Dia (Jibril) berkata, ‘Demikianlah.’ Tuhanmu berfirman, ‘Hal itu mudah bagi-Ku, dan agar Kami menjadikannya suatu tanda (kebesaran Allah) bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu urusan yang (sudah) diputuskan.’ Maka dia (Maryam) mengandung, lalu dia mengasingkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Kemudian rasa sakit akan melahirkan memaksanya (bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia (Maryam) berkata: ‘Wahai, betapa (baiknya) aku mati sebelum ini, dan aku menjadi seorang yang tidak diperhatikan dan dilupakan.’ Maka dia (Jibril) berseru kepadanya dari tempat yang rendah, ‘Janganlah engkau bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai dibawahmu.’

Belumlah selesai kalam Allah yang berisi kisah Maryam tersebut, Raja Najasyi meminta Ja’far bin Abu Thalib untuk berhenti. Seluruh pendeta yang hadir di istana dan Raja Najasyi sendiri menangis sesenggukan demi mendengar ayat-ayat tersebut. Raja dan seluruh pendeta tak kuasa menahan haru dan bersumpah bahwa yang dibaca oleh Ja’far bin Abu Thalib adalah benar-benar firman Allah.

Raja Najasyi berdiri dari singasana beliau, lalu meminta kepada prajuritnya untuk mengembalikan semua hadiah dan meminta Abdullah bin Rabi’ah dan Amr bin Ash kembali dengan membawa pulang hadiah yang mereka bawa dan mengatakan kepada kaum muslimin bahwa mereka boleh tinggal di negeri Habasyah selama kaum muslimin suka dan akan mendapatkan perlindungan langsung dari Raja Najasyi.

Kembalilah para utusan tersebut dengan tangan hampa tanpa membawa keberhasilan misi mereka untuk membawa pulang kaum muslimin ke Makkah, mereka juga mendapat malu karena hadiah yang diberikan kepada Raja Najasyi pun dikembalikan. Pada akhirnya Raja Najasyi masuk Islam begitu juga Amr bin Ash yang akan menjadi seorang tokoh Islam terkemuka dan menjadi seorang gubernur Mesir pada masa Khalifah Umar bin Khattab.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantab Pak. Salam literasi sukses selalu.

27 Sep
Balas

Maturnuwun pak edi

27 Sep

Selamat beraktivitas di pagi yang cerah ini sahabat...sehat dan sukses selalu

28 Sep
Balas

aamiin.... terimakasih pak sucipto. saya merasa tersanjung pak sucipto sudi mengomentari tulisan saya yang sederhana ini

28 Sep



search

New Post